Banyak yang tidak paham tentang perjalanan seorang murid dalam berthorekot kepada sang Guru. Dan tidak sedikit pula bagi para muridun yang masih merindukan sosok guru yang sudah wafat (Alm) Seolah sang Guru tadi bagaikan tiada duanya. Pemahaman semacam ini bagian dari salah kaprah setiap muridun yang sedang menghadapi perjalanan hidup menuju maqom Khoas.
Daam kitab Taswwuf di jelaskan..."Guru yang paling terbaik adalah guru lahir dan bukan guru yang sudah meninggalkan dunia (wafat) dan derajat paling cepat terlahir dari guru hidup, bukan dari guru yang sudah wafat"
Lalu bagaimana dengan amalan yang sudah di bina sejak bertahun tahun lamanya namun sang guru sudah wafat terlebih dahulu? Imam Abu Hasan Assyadili berkata; "Sesungguhnya amalan dari guru lama wajib dibuang dan diganti dengan makna khidmat kepada pemberian guru lahir, sesungguhnya hanya guru lahir yang bisa mengangkat derajat kita menuju puncak kema'rifatan abadi"
Apakah setiap amalan dari para Ulama, ahlul bathin dan lainnya, wajib di amalkan? Dalam kitab Tauhid dijelaskan: "Sesungguhnya amalan terbaik dari 1 guru, maka buanglah jauh juah amalan dari orang lain sehingga ilmumu manfaat dunia akherat".
Lalu bagaimana hukumnya memuji guru yang sudah wafat selagi di dunia masih punya guru lahir (mursyid) dalam kitab Hikam dijelaskan; "Hukumnya Haram bagi ahlul perjalanan, sebab memuji guru yang sudah mati dan berpegang pada guru lahir, bagian dari su'ul adab"
Bagaimana bentuk keseriusan seorang Mursyid dalam mendidik pada muridnya? Dalam kitab Tasawwuf dijelaskan: "Hanya bagi mereka yang selalu bertaslim diri (tidak inkar atas cobaan yang diberikan sang guru) maka Mursyid akan mendoakan selalu baik kesehatan, materi maupun derajatnya secara cepat dan tidak jatuh. Dan hanya bagi mereka yang mudah inkar (tersinggungan/emosi) guru akan meninggalkannya laksana rumput yang sudah kering tanpa manfaat"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar