TRISULA KARARA REKSA: PUSAKA KANJENG
IBU RATU LAUT KIDUL
Oleh: IDRIS NAWAWI,TJA
Cerita ini lanjutan dari artikel
“Rahasia kekuatan batu merah delima” yang membedarkan, bahwa :
“Pada tahun 2009 nanti, saat kursi
pemimpin Negara Indonesia sedang mulai diperebutkan. Pada saat itu pula,
seluruh kekuatan dari benda bertuah akan menjadi perioritas utama. Namun, hanya
ada satu pusaka pilih tanding yang sedang diburu oleh seluruh paranormal
sebagai raja dari semua pemimpin gaib, yaitu Trisula Karara Reksa.”
Menyelusuri keberadaan pusaka yang
satu ini sungguh teramat sulit karena berada di dasar Laut Kidul. Tepatnya di
istana agung Kanjeng Ibu Ratu Laut Kidul, yang ditempatkan di dalam ruangan
khusus tingkat ke lima.
Pusaka ini juga sebagai bentuk dari
kebesaran kursi para pembesar istana bawah laut maupun Majapahit dan Keraton
Solo. Bahkan dalam dunia wayang, pusaka ini digambarkan pada gunungan yang
menyerupai bentuk padi atau bentuk rambut bergerigi. Yang artinya, lambing dari
kemakmuran, pangkat, kesuksesan, kedudukan dan kepercayaan seluruh
wahyabala/lapisan masyarakat luas.
Bercerita tentang karomah atau
kesaktian pusaka Karara Reksa, tentu sudah tidak diragukan lagi sebagai tameng
dari berbagai ilmu santet, teluh dan sebagainya. Bahkan dalam hal memuluskan
suatu jabatan, Syekh Abdul Karim, Benda Kerep (alm) yang semasa hidupnya
menjadi guru besar para Habaib se-Indonesia ini pernah berujar;
“Pada masa itu, seorang intelektualis,
Ir. Soekarno sebelum menjadi pemimpin negara, meminta pendapat pada Kyai yang
satu ini tentang sebuah jalan menuju derajat mulia di tengah banyaknya manusia
yang mengharapkan.”
Lalu Kyai tersebut berkata; “Dunia
adalah derajat dan derajat adanya di dunia. Keberkahan Allah SWT, yang punya,
namun harus dicari pangkal ujungnya. Segala upaya ada jalannya, carilah karomah
yang bersifat raja.”
Dengan penghayatan seksama, lalu Ir.
Soekarno bertanya kembali, “Dimana gerangan harus ku cari suatu karomah
bersifat raja?”
Sang Kyai menjawabnya, “Bersatulah
lahir dan batinmu untuk sejalan beriringan, sesungguhnya derajat duniawiyah
banyak dimiliki makhluk kasat mata, pintar-pintarlah dalam mencari derajat,
karena di tengah derajat akan ada tpu muslihat. Ambillah pusaka raja TRISULA
KARARA REKSA. Mintalah izin dari sang murid Nabi Khidir as (yang dimaksud
dengan murid di sini adalah Kanjeng Ibu Ratu Kidul) sesungguhnya karomah raja
(pusaka raja) ada padanya.”
Lalu Ir. Soekarno pamit mundur diri
dari hadapan Kyai kharimatik untuk menjalankan suatu perintah mulia lewat jalan
bertirakat. Dalam suatu komptemplasinya, Ir. Soekarno mendapat suatu wangsti
untuk bertirakat/bersemedi di puncak Gunung Penjalu, Tasik, Jawa Barat.
Beliau akhirnya datang ke puncang
gunung tersebut, tepatnya diatas puncak bebatuan yang bernama Harja Mukti atau
Pataka Harja. Lewat amalan dan pelaturan yang diberikan oleh Syekh Abdul Karim.
Hari ke-41 dari semedinya di puncak Gunung Penjalu, akhirnya Ir. Soekarno
mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu, pusaka KARARA REKSA, yang langsung
diberikan oleh Kanjeng Ibu Ratu Kidul sendiri.
Bercerita tentang pusaka, Trisula
Karara Reksa, penulis mempunyai kisah tersendiri, yang pada masa itu aku sama
sekali tak menyangka, kalau pusaka yang ada di tanganku adalah pusaka nomer
satu yang sedang diperebutkan banyak paranormal.
Konon, bermula dari suatu tirakat,
saat memperdalam ilmu, Wijaya Kusuma, di salah satu peninggalan bersejarah,
yaitu, sebuah rumah tinggal seorang waliyullah sakti, Raden Mas Kuncung Anggah
Buana. Tepatnya, berlokasi di desa Trusmi, kecamatan Plered.
Dalam istilah silsilah, tokoh yang
satu ini dilahirkan tanpa seorang ayah, pada umumnya. Tapi, dari suatu
keajaiban kebesaran Allah SWT, pada ummat/hamba pilihannya seperti kisah,
Nabiyullah Isa as.
Nah, sebelum kisah perjalanan hidupku
aku lanjutkan, ada baiknya kita tahu, siapa gerangan Raden Mas Kuncung Anggah
Buana, agar tidak penasaran akhirnya.
Dalam kisah sejarah, desa Trusmi
mengalami masa kekeringan yang begitu panjang. Seorang puteri cantik jelita,
Ratu Ayu Roro Jati, selalu bersedih hati dengan keadaan seperti ini.
Beliau sering menyendiri di sebuah
taman keputren, sambil menatap tanaman yang tinggal tangkai tanpa satu pun daun
yang bertengger diastasnya. Dengan melihat kondisi seperti ini, sang puteri
sering menangis sambil melantunkan seuntai kata keprihatinan, diantaranya;
“Wahai Dewata Agung, tidaklah kau
turunkan seseorang yang mampu merubah taman kering ini menjadi subur kembali.
Sesungguhnya aku hidup tanpa punya kesenangan lani kecuali keasrian tamanku
pulih kembali. Wahai Dewata Agung, aku bersumpah dengan segala kerendahan.
Siapapun yang mampu menghidupkan taman kesayanganku ini, bila orang itu
laki-laki, aku kan jadikan dia suamiku. Tapi bila dia seorang perempuan, akan
ku jadikan keluargaku yang paling dekat.”
Pada esok harinya, seorang pemuda yang
entah dari mana datangya, dengan kondisi dan mimik wajah kelelahan sehabis
perjalanan jauh. Rupanya, langsung beristirahat sambil mandi di pancuran taman
keputren Trusmi, yang sedang dilanda kekeringan, pada masa itu.
Dengan rasa tergesa-gesa, pemuda itu
langsung menanggalkan bajunya diantara ranting pohon yang sudah teramat kering.
Terlihat kesegaran di wajah pemuda itu, setelah merasakan sejuknya air pancuran
keputren.
Bertepatan saat pemuda tadi selesai
mandi, tanpa disengaja sang Puteri Roro Jati masuk ke dalam taman keputren.
Sang puteri langsung terkejut kaget dan juga tercengang takjub. Ya, sang puteri
benar-benar terkesima melihat dua hal yang belum pernah dilihatnya semasa
hidupnya.
Di saat pemuda tadi mengambil bajunya
yang tergelak diatas ranting kering, tiba-tiba pohon it mengeluarkan daun yang
begitu lebatnya serta bermunculan beragam bunga dengan beraneka warna yang
sungguh indah dipandang mata, bukan hanya itu saja, seluruh pohon yang ada
ditaman semua ikut subur seperti sedia kala.
Saat berpandangan mata, sang puteri
langsung terpesona dengan ketampanan pemuda tadi yang tak lain adalah Sunan
Gunung Jati. Konon, saking terpesonanya sampai sang puteri tak sadar kalau
betisnya tersingkap lebar-lebar dan pada saat itu Sunan Gunung Jati melihatnya,
hingga punya sir kelakiannya.
Dari kejadian itu, Sunan Gunung Jati
pergi meninggalkan sang puteri seorang diri masih dalam keadaan
terbengong-bengong. Sejak saat itulah, kehidupan sang puteri mulai berubah.
Beliau benar-benar jatuh hati pada pemuda yang baru diilhatnya. Ya, tingkah
laku sang puteri mulai aneh. Beliau selalu datang dan mencium tanah bekas
telapak kaki berdirinya Sunan Gunung Jati di samping air pancuran tamannya.
Empat bulan sejak hadirnya Sunan
Gunung Jati dalam pikirannya empat bulan pula sejak tergila-gila dan terus
menciumi bekas telapak kakinya, tanpa disadari, beliau akhirnya hamil dengan
kebesaran dan keagungan ilmu Allah SWT.
Di saat kandungan telah mencapai 9
bulan, Nyi MAs Ayu Roro Jati, akhirnya melahirkan seorang bayi laki-laki yang
memancarkan sinar terang dari wajahnya. Dengan rasa suka cita sang puteri dan
ayahandanya langsung datang menghadap Prabu Panatagama/ Sunan Gunung Jati
Cirebon, yang konon namanya Sunan Gunung Jati ini sudah ke sohor kemana-mana
pada masa itu.
Dihadapan seorang raja Islam Cirebon,
ayah dan sang puteri Roro Jati ini menceritakan ikhwal asal-usul hingga akhir
kejadiannya. Dengan senyum yang menawan, Sunan Gunung Jati menerima tamunya
dengan riang gembira. Dan akhirnya Puteri Roro Jati dinikahinya menjadi salah
satu isteri yang paling setia.
Sedangkan sang bayi, Sunan Gunung Jati
menamainya dengan sebutan Raden Mas Kuncung Anggah Buana. Konon dalam sejarah
Cirebon, Raden Mas Kuncung Anggah Buana menjadi seorang pilih tanding dengan
ribuan muridnya yang tersebar di berbagai penjuru angina, diantara murid beliau
yang sampai sekarang masih terkenal namanya adalah Kanjeng Ibu Ratu Laut Kidul.
Nah, kita lanjutkan kembali kisah
hidupku tentang pusaka Trisula Karara Reksa. Dalam suatu malam, tepatnya selasa
kliwon. Malam itu, ruangan paseban Raden Mas Kuncung Anggana Buana, begitu
gelapnya karena aliran listeri padam akibat hujan lebat yang sejak sore telah
mengguyur daerah Trusmi dan sektirnya.
Mungkin faktor cuaca yang sangat
dingin, malam itu tanpa sadar aku terlelap tidur di serambi pintu ukir yang
sudah berabada-abad tahun lamanya tidak pernah direnovasi oleh masyarakat
setempat. Dan entah sudah berapa jam aku tertidur di tempat itu, tapi yang
jelas, aku baru terbangun karena terkejut, tubuhku di lempar oleh seseorang.
Belum lagi rasa terkejutku hilang,
tiba-tiba dari dalam pintu ukir, keluar sebuah sinar yang amat terang
benderang. Sinar itu lalu berputar mengelilingi tubuhku sampai lima puteran dan
seterusnya sinar itu redup lalu jatuh dihadapanku.
Dengan dibantu cahaya senter yang
selalu kubawa, benda itu lalu kuambil dan kuperhatikan secara seksama. “Aneh!”
pikirku. Benda ini terbuat dari bahan tulang dengan bentuk tujuh tangkai saling
menyatu dan semuanya bergerigi seperti bentuk padi.
Tapi bila diperhatikan lagi, benda ini
mirip bentuk tombak yang lepas dari gagangnya. Sungguh sangat unik dan belum
pernah kulihat sebelumnya. Malam itu juga, aku sudahi tirakatku dengan membawa
sebuah kenang-kenangan dari bangsa gaib, yaitu berupa pusaka aneh, menurutku.
Walau dalam suatu kegunaannya dan
manfaat dari benda ini sama sekali belum aku ketahui kunci pembukanya. Namun
aku patut bersyukur. Sebab, sejak adanya benda ini di rumahku, lambat laun aku
mulai kedatangan rizki dari berbagai tamu yang membutuhkan pertolongan
supranaturalku.
Bahkan tak tanggung-tanggung, para
pengusaha dan pejabat tinggi negara datang pula dengan berbagai persoalan dan
masalah yang tentunya sangat privasi. Namun, setengah tahun dari kedapatan
benda aneh tersebut, pada suatu hari benda itu kubuang karena suatu alasan.
Lantas, apa yang terjadi setelah itu?
Dalam penghujung cerita bagian 1,
sudah dijelaskan, bahwa pusaka aneh yang berasal dari posaroan, Raden Mas
Kuncung Anggah Buana, yang lain adalah pusaka no.1, Trisula Karara Reksa, pada
akhirnya setelah setengah tahun ikut bersamaku, pusaka ini kubuang karena suatu
alasan yang memaksa.
Lantas…apa yang terjadi setelah itu….?
Kisah dibuangnya pusaka ini bermula
dari suatu hasutan dari salah satu masyarakat yang satu profesi sepertiku. Dengan
adanya aku, banyak tamu yang datang dari berbagai daerah meminta suatu
pertolongan. Orang yang satu ini langsung menunjukkan mimic ketidak sukaannya.
Lewat hasutannya, satu persatu dari
masyarakat sekitar mulai terpedaya dan mencemoohku sebagai seorang ahli
santet/teluh. Bahkan ucapan miring seperti ini selalu kudengar acapkali ada
orang sakit atau terkena musibah, semua akan dikembalikan kepadaku dengan
tuduhan, akulah penyebabnya.
Berbulan-bulan hasutan ini terus
terdengar dikupingku. Namun seakan tak pernah padam, para tamu yang meminta
pertolonganku terus bertambah sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Melihat
kenyataan seperti ini, aku dihasut lagi dengan modus yang lain. Yaitu, aku
dianggap menganut pesugihan lewat pelantara memelihara tuyul.
Pada suatu hari, seiring merebaknya
fitnah yang terus terdengar sampai ditelinga keluargaku. Malam harinya, aku
bermimpi didatangi empat orang. Dua laki-laki bersorban dan dua perempuan
cantik dengan memakai mahkota ratu. Dalam mimpiku, salah satu ratu tadi berkata
;
“Anakku! Jangan kau putus asa karena
suatu masalah. Terimalah dengan senang hati dengan datangnya masalah ini.
Sesunguhnya sabar dalam menghadapi segala masalah, adalah suatu derajat
termulia dihadapan-Nya.”
Lalu sang kakek bersorban
meneruskannya;
“Jika kau tak mampu menahan rasa sakit,
jangan kau curahkan sakit itu dengan perlawanan. Karena sesungguhnya mengalah
demi suatu kebaikan itu lebih mulia dari pada kau melawannya,”
“Diam dan tenang itu lebih mulia
daripada gerak membawa malapetaka. Sesungguhnya semuanya adalah permainan rasa
(hati) yang mana didalamnya, apabila hati kita menerima adanya masalah. Maka,
masalah itu seolah tidak ada. Tapi apabila hati kita tidak menerima segala hal
yang berbentuk masalah, niscaya rasa senangpun akan dibuat masalah sendiri.”
Tambahnya.
Sejak kejadian mimpi itu, aku mulai
banyak intropeksi diri dengan jalan tirakat dan puasa diberbagai tempat
posarrean para Waliyullah. Aku mulai jarang dirmah dan selalu bepergian dari
satu makam Wali ke makam yang lainnya.
Hingga pada suatu malam, disaat aku
pulang dari posaroan seorang wali, Syekh Abdul Latif, kamarku terlihat
berantakan dan Trisula Karara Reksa sendiri hilang dari tempatnya.
Dengan penasaran, gundah-gulana, malam
itu juga aku mulai mempersiapkan sarana ritual untuk menarik kembali pusaka
itu, yang baru saja dicuri. Namun dalam suatu kontemplasi yang aku lakukan,
para Abdul Jumud dan para lelembut bangsa laut datang ke kamar dengan membawa
pesan;
“Rekanlah kepergian pusaka tatal raja.
Mungkin sudah waktunya dia berpisah denagn dirimu. Hanya saja ada satu hal yang
harus engkau ketahui, buanglah sejauh mungkin sarung/tempat pusaka tatal raja.
Sesungguhnya pusaka itu tidak akan berkaromah apabila tidak disatukan dengan
warangkanya.”
Demi menghormati amanat para gaib
untuk menyelematkan karomah yang ada pada pusaka itu. Pagi harinya, aku
langsung membuang warangkanya di suatu sungai yang bernama, Kali Telgung.
Dua hari kemudian, dari pembuangan
warangka pusaka, aku langsung pindah rumah dan ikut ke salah satu pengusaha
Chines di Semarang, menjadi supranaturalis pribadinya. Satu tahun aku
dikontraknya dan setelah itu hidupku lebih diarahkan ke dunia spiritualis lewat
ngarayana keberbagai tempat/makam keramat para sesepuh zaman dahulu.
Diantara tempat keramat yang pernah
aku singgahi selama tiga tahun ngarayana, diantaranya; Syekh Tolha (Kalisapu),
paserean Kanjeng Sungan Kalijaga (Kalijaga, Cirebon), Pangeran Papak (Garut),
Sunan Godog (Garut), Syekh Muhyi (Pemijahan), Syekh Latif dan Syekh Qobul
(Kajen), Ki Ageng Sapu Jagat (Cuci Manah), Syekh Manshur (Banten), Pangeran
Topak (Matangaji), Habaib Keling (Indramayu), Syekh Majagung (Situmpuk),
pertapaan Sunan Gunung Jati dan Mbah Kuwu Cakra Buana (istana pukuwati,
Cirebon), dan lain-lain.
Dari kisah perjalanan spiritualisku,
tentu banyak fenomena gaib yang membuatku mengenal akan kebesaran Allah SWT,
lewat beberapa makhluk lain, seperti bangsa jin dan lainnya. Bahkan dalam
kebesaran Af’al yang diciptakan-Nya, aku banyak dihadapkan dalam fenomena alam,
kehidupan makhluk kasat mata.
Ternyata, tidak hanya bangsa manusia
yang merasakan nikmatnya keindahan alam yang diciptakan oleh Allah SWT. Namun
makhluk lainpun tak kalah menikmatinya dengan berbagai keindahan dan keasrian
alam yang ada didalamnya.
Lewat kesaksian yang pernah aku alami,
konon pada suatu hari, guruku bercerita tentang kehebatan puasaka yang
mengandung tujuh unsure limu, bumi, langit, api, angin, cahaya, rasa dan sinar.
Beliau mengibaratkan pusaka ini
sebagai sosok ahli ma’rifatullah. Yaitu, satu badan namun menguasai tujuh ilmu
Allah SWT. Secara keseluruhan, sang guru menambahkan lagi;
“Pusaka ini hanya ada lima dialam jagat
raya, dan semuanya telah dipegang oleh bangsa ahli laut. Diantaranya,
Nabiyullah Khidir as (Sulthonul Bahri), Raja Lautan (Sulthonul Ma’), Raja
Maimun (Sulthonul Jin), Dewi Cempaka Arum (Ibu Ratu), Dewi Nawang Wulan
(Kanjeng Ibu Ratu Kidul).”
Disaat guruku bercerita tentang bentuk
yang menjadi cirri khas pusaka yang luar biasa ini, aku sangat terkejut
mendengarnya. Sebab, bentuk pusaka yang diceritakan tadi persis seperti pusaka
yang dulu aku miliki.
Ya, dari cerita sang guru, akhirnya
aku berkisah padanya tentang kejadian 4 tahun yang lalu. Dimana aku pernah
memiliki pusaka yang baru saja diceritakan. Dari perjalanan kisahku, sang guru berkali-kali
geleng kepala dan terus menyimak ceritaku sampai akhir. Lalu dengan suara
lirih, guruk berkali-kali menyebut nama “Karara Reksa”.
Setelah suasana tenang kembali, sang
guru mulai melanjutkan ceritanya. Namun tentunya setelah aku berkisah tadi. Sang
guru lebih focus bercerita yang diarahkan kepadaku. Diantara cerita beliau
tentang pusaka Karara Reksa.
Karara Reksa adalah pusaka pilih
tanding yang didalamnya mengandung tujuh kesempurnaan ilmu. Dari tujuh
kesempurnaan ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu; raga, sifat dan keyakinan.
Raga
Ilmu yang mempunyai pondasi “bumi
sebagai akhlak mulia”, rendah diri, sabar dan bertawaqkal, mengikuti jejak dari
Rasululullah SAW.
Sifat
Ilmu yang mengaruh ke sifat
baburrahmat (kerohmatan) disini mempunyai tiga unsur, yaitu; langit, api dan
angin. Langit, ilmu yang bersifat menengadah dalam suatu doa dari seorang
makhluk terhadap Tuhannya. Api, ilmu yang mengarah ke sifat sidadah (semangat)
baik dalam mencari sebuah ilmu, duniawiah maupun yang bersifat batin. Angin,
ilmu yang mengarah ke sifat derajat, dimana didalamnya telah terkandung
keluasan akal yang mengarah keberbagai tujuan hidup yang positif.
Keyakinan
Ilmu yang bersumber dari keyakinan
hati lewat suatu pemahaman, keluasan dan penghayatan diri. Lewat karomah pusaka
Trisula Karara Reksa, semua ilmu ini ada didalamnya. Nah, keyakinan disini
mencangkup 3 unsur, diantaranya; cahaya, rasa dan sinar. Cahaya, penerimaan
ilmu bersifat Robbani (ketuhanan). Rasa, penghayatan arti hidup menuju derajat
mulia. Sinar, mengenal bangsa malaikat lewat kesidikan/kejujuran hati.
Dari tujuh sumber ilmu yang ada di
pusaka Trisula Karara Reksa, akan menyatu dengan pemiliknya seiring satu
persatu khodam yang menjaganya memberi kunci pembuka.
Nah, kata sang guru yang langsung menatapku.
Sungguh sangat disayangkan pusaka yang seharusnya dijaga sebagai alat bantu
menuju ilmu yang lebih tinggi, disia-siakan begitu saja.
Dari penuturan sang guru, aku merasa
sangat bersalah bila teringat kejadian 4 tahun yang lalu. Ya, nasi sudah menjadi
bubur, mungkin inilah pepatah terakhir yang bisa aku ucapkan.
Sejak penuturan guru tentang cerita,
pusaka Trisula Karara Reksa, aku jadi malu untuk bertemu dengan guruku. Ya, aku
benar-benar bersalah yang tidak bisa menjaga pemberian bangsa gaib.
Namun, seminggu kemudian, guruku
memanggilku dan memerintahkanku untuk meminta maaf kepada Nyimas Ratu Ayu Dewi
Nawang Wulan, sebagai hak waris pusaka Trisula Karara Reksa, yang pernah
diberikan kepadaku. Guruku berkata;
“Datanglah ke Pelabuhan Ratu. Bawalah
sarana yang diperlukan, berdzikirlah disana dengan tujuan meminta maaf.
Sesunguhnya pemberian pusaka, Trisula Karara Reksa adalah suatu derajat bagi
orang yang dipilih. Jangan sia-siakan waktu yang sudah terbuang dan
jangan terus berdiam diri.
Sesungguhnya, Ratu Ayu Dewi Nawang
Wulan, seorang yang dipilih oleh Nabiyullah Khidir as. Jangan sampai terkena
marahnya bila hidupmu ingin tenteram.”
Setelah aku diajari tentang cara
bertemu dengannya oleh guruku, besoknya aku berangkat menuju Pelabuhan Ratu,
Sukabumi.
Dengan bantuan Tubagus Moyo yang
mengajarkan ilmu, Pangrimo Bumi dan pembuka gerbang gaib. Dari ilmu ini
akhirnya aku diperbolehkan masuk keruang kedua yang bernama Karara Bumi.
Diruangan ini aku disambut beberapa
ahli keraton, diantaranya seorang tokoh sakti zaman Padjajaran, Bopo Awu,
namanya.
Konon, dari cerita Bopo Awu sendiri,
setelah kita berdua, mulai akrab. Beliau salah satu kepercayaan Prabu Siliwangi
semasa hidupnya. Pada masa itu, sebelum raibnya istana Padjajaran.
Bopo Awu ditugaskan Sri Baginda, untuk
mendampingi kedua puterinya yang mau berguru kesalah satu tokoh sakti asal
Trusmi, Raden Mas Kuncung Angah Buana. Namun, setelah kedua putrid ini tahu,
bahwa istana ayahandanya sudah raib, kedua puteri dari sang Prabu Siliwangi,
Dewi Nawang Wulan dan Dewi Nawang Sari.
Akhirnya ikut raib pula beserta empat
puluh pengikutnya. Salah satunya Bopo Awu sendiri. Mereka kedimensi lain yang
kini terkenal sebagai penguasa Pantai Selatan. Dari kedewasaan dan keluasan
ilmu yang dimiliki oleh Bopo Awu, Beliau banyak mengajarkan tentang hakikat
ilmu supranatural kepadaku, diantaranya ilmu keyakinan.
Sebab, menurut beliau, “Tiada ilmu
yang bisa diharapkan menjadi suatu bibit, kecuali dengan keyakinan yang
sempurna.”
Tambahnya lagi, “Semua ilmu adalah
cahaya yang membentuk kekuatan menjadi suatu karomah/keramat. Tiada ilmu yang
bisa dirasakan kalau belum mengenal keyakinan secara pasti. Ilmu tanpa wujud,
namun bisa diwujudkan. Ilmu tidak bisa diraba tapi bisa dirasakan. Semua itu
berpangkal dari keyakinan yang menunjung diantaranya, tirakat dan
beristikomah.”
Bertambah kagumnya aku dengan beliau.
Bopo Awu juga mengajarkan ilmu, Karara Sukma Langgeng, yaitu ilmu kesabaran
yang berasal dari unsur air. Diantara bunyi ilmu ini sebagai berikut…
“Ya Rasulullah 4x. Dzat Nur, karara
sukma langgeng. Kasampurna dzat alam makhluk kacipta fana. Solawat kang bahu
rekso, syafaat kang ngadusi ati. Begjo mulyo kasebat karara sukma langgeng.
Turu dadino banyu. Tangi dadino pangeling. Ucap dadino derajat. Meneng dadino
pangkat. Ya salam 9x (jangan bernafas).
Assolatu wassalamu ‘alaika ya sayyidi
ya rasulullah khud biyadi khoddokot khilati adrikni. Allhumma solli ‘ala
saiyidinal fatihi lima ungliko wal khotimi lima sabako wanna siril hakko
bilhakki wal-hadi ila sirotikal mustakim. Dzat nur karara sukma langeng.”
Dari pembedaran isi ilmu ini, Bopo Awu
berpsan kepadaku, “Nak! Carilah kesabaran diatas penderitaanmu sendiri.
Sesungguhnya sabar dalam dunia manusia, menerima segala cobaan dengan terus
berusaha dan semangat hidup.”
Sungguh sangat dalam pelajaran yang
diberikan oleh Bopo Awu kepadaku hingga aku merasa malu dan sangat takut,
apalagi bila sudah meninggal semua, kesalahanku tentang Trisula Karara Reksa.
Ya, aku benar-benar menangis pada
waktu itu. Antara takut dan kebimbangan. Apakah maafku diterima olehnya, terang
batinku. Rupanya dari kesedihan hatiku pada saat itu, Bopo Awu benar-benar
menyalaminya, hingga beliau mengajakku bersenang-senang kesebuah taman kaputren
yang bernama Sulasti Cempaka Seruni.
Taman ini, begitu luas dan sangat
indah. Disamping taman terdapat beberapa pohon buah-buahan yang siap petik.
Ditengahnya terdapat sebuah joglo yang begitu megah dengan ukiran yang terbuat
dari emas dan berlian.
Hampir semua taman ini ditanami pohon
cempaka seruni atau menurut bangsa manusia adalah tanaman derajat/bunga pembawa
keberkahan. Bunga cempaka seruni sendiri ada dialam nyata ini dan hanya tumbuh
satu tahun sekali yaitu, bulan Syawal. Tempatnya hanya ada satu, yaitu
pertapaan bekas Ir. Soekarno, bukit Gunung Panjalu (lihat bag – 1).
Setelah dirasa cukup berkeliling
ditaman sulastri cempaka seruni, Bopo Awu menyuruhku mandi dipancuran warna.
Pancuran ini terdiri dari lima mata air dengan warna yang berbeda. Merah,
hijau, biru, pink dan kuning. Dari lima mata air ini, semua ditampung dalam
guci besar yang berukiran dua ekor naga. Diguci inilah, Bopo Awu menyuruhku
berendam.
Setelah mandi, Bopo Awu mengajakku
melakukan ritual disebuah kamar yang didalamnya terdapat dua kursi raja saling
bersanding. Disini aku mulai bergetar….ya, aku tak sanksi lagi. Dua kursi ini
semua dipahat membentuk Trisula Karara Reksa.
Aku mulai mengucurkan keringat dingin
dan pikiranku mulai resah tiada menentu. Disaat kegelisahanku mulai
mempengaruhi saraf otakku, Bopo Awu langsung mendekapku penuh kelembutan
dan setelah itu, beliau langsung membuka ritual dengan memakai bahasa kejawen,
diantara ritual Bopo Awu saat itu.
“Assalammu ‘alaikum…….wa’alaikum salam.
Kaki semoro bumi, nini semoro bumi, kulo haturkan dugi ing panggonan kula niki,
sa’ perlu kulo. Kulo nyuwun wayahepun kanjeng ibu nyambut dumaleng pengundang
kaulo. Kulo pasrahkan saking keyakinan ing duwur arso. (Undur 3x) tampio dumagi
kelawan bungah.”
Amalan ini kuijazahkan pada pembaca
sekalian dengan syarat ketentuan, puasalah selama 41 hari. Setiap tengah malam,
ritualkan amalan ini sebanyak 666x. Disaat mulai ritual, bakarlah
kemenyan/madat gambar dua ekor naga yang bisa dicari ditoko minyak dengan harga
berkisar 1,7 juta. Niscaya dari ritual ini Anda akan bertemu langsung dengan
sosok penguasa Pantai Selatan.
Kembali Keritual Tadi
Dari ritual ini yang dilantunkan oleh
Bopo Awu, tiba-tiba hati dan pikiranku merasa tenang dan tak ada rasa takut
sama sekali. Kepasrahan dan rasa yakinku mulai tumbuh, seiring Bopo Awu
bertambah keras melantunkan ritual ini.
Selang setengah jam dari ritual ini,
tiba-tiba kedua kursi yang ada dihadapanku bergerak dengan hebatnya dan setelah
itu seberkas cahaya yang ditimbulkan dari pusaka, Karara Reksa tiba-tiba hadir
dan berputar mengelilingi kami berdua sebanyak lima kali putaran, lalu raib
entah kemana.
“Anakku! Ibu sudah menunggumu,” terang
Bopo Awu menyadarkanku.
Lalu, kamu berdua langsung keluar
kamr, dan ternyata disitu sudah ada dua prajurit yang siap mengantar kami. Dari
balirung keputren, kami berempat langsung menuju keputren Agung dan diteruskan
menuju pasembangan panembahan/ruang Kanjeng Ibu Ratu.
Saat menaiki tangga yang tertutup
permadani warna emas kehijauan. Dua prajurit tadi langsung berhenti dan
mempersilahkan kami berdua meneruskannya. Saat didepan pintu ukir kuning emas,
Bopo Awu langsung bersembah diri dengan posisi duduk sambil kedua tangan
terangkat kedepan. Sembah hormat, aku pun mengikutinya sambil menanti apa yang
bakal terjadi selanjutnya….
Tiba-tiba pintu terbuka dan ada suara
yang menyuruhnya masuk. Setelah Bopo Awu bersembah hormat tiga kali
berturut-turut, kami berdua pun masuk kealam ruangan yang sangat indah sekali.
“Selamat datang Anakku!” Suara
perempuan yang begitu penuh kharismadan tanggung jawab. Aku hanya mengangguk
tanpa berani menatap wajah ibu, yang begitu memancarkan cahaya kewibawaan.
“Yang sudah terjadi, biarlah terjadi.
Aku memaafkanmu, Anakku!” Lanjutnya lagi.
“Berbaktilah kepada gurumu dan
berjanjilah untuk berhenti dalam duniamu. Bangunlah kuncup dan istirahatkan
badanmu ditengah kuncup tersebut. Carilah mahkota diantara tahta dunia. Jangan
berbalik menoleh selagi gurumu diam. Kecuali kalau gurumu yang memberi
perintah.
Anakku! Amal bukan terlahir karena
nama, tapi nama bisa melahirkan beribu amal. Silahkan kau boleh pergi Anakku!”
Sesampainya aku jauh dari kamar Ibu
Ratu, aku bertanya pada Bopo Awu tentang maklumat perkataan Ibu Ratu tadi. Lalu
Bopo Awu membeberkannya sebagai berikut…
“Menurutlah kamu pada semua perintah
gurumu. Berjanjilah dalam hatimu yang sangat dalam. Bahwa setelah kau mampu
bikin suatu pesatren untuk kemaslahatan orang banyak, beristirahatlah dalam
dunia yang sedang kau jalani (supranatural). Perbanyaklah beribadah dalam
bangunan pesantren tersebut. Gunakan waktumu mulai dari sekarang, dan carilah
derajat bersifat ukhrowi.
Anakku! Gurumu adalah mursyid yang
harus kau patuhi semua ucapannya. Bila gurumu mengijinkan kau menjadi seorang
supranaturalis, jalanilah dengan berlapang dada. Tapi bila suatu hari gurumu
memberhentikanmu dari seorang supranaturalis, berhentilah dengan rasa ikhlas
dan tanpa beban.
Sebab, pahala seseorang bukan karena
nama yang tersandang, tapi nama inilah yang harus kau jaga hingga sampai hari
pembalasan nanti (kematian)… Sesungguhnya amal yang terbaik untukmu saat ini
adalah, perbanyaklah dengan bersodakoh kepada, ibu kandung, guru mursyid, anak
yatim dan orang-orang yang sedang zuhud kepada Allah SWT.”
Sejak kejadian ini, aku mulai banyak
intropeksi diri dan siap-siap melangkah kesuatu tuuan yang dianggap lebih
mulia, tentuya. Semua ini menunggu aba-aba dari guruku yang sejak sedari kecil
mengajariku berbagai sifat ilmu, baik yang mengarah kesifat duniawiyah maupun
yang bersifat ukhrowi.
Semoga dengan pengalamanku ini, ada
hikmah yang bermanfaat untuk para pembaca sekalian.ADAKAH SUMBER CERITA DI ATAS ? ATAU HANYA KHAYALAN PENULISNYA ?