SEMUA YANG ADA DI DUNIA BAGIAN WASILAH SEMATA
Dalam kajian Ilmiah Tauhid, bahwa semua makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan pekerjaan kecuali Ihtiar (Wahdaniyyah) semata. Sebab segala sesuatu yang menggerakkan dan memberikan kekuasaan kepada setiap makhluk bernyawa lewat kekuasaan-Nya, Bi-ijni waattamkin Ilalloh (semua yang terjadi ijin Allah).
Secara makna Hakikotul Ilmi.....Apapun bentuk yang menjadi wasilah, disebut juga sebagai makna (Sya'nun) yaitu, semua yang ada di muka bumi ini bagian Thobi'iyyah/ihtiar.
Jadi sifat-sifat ihtiar yang biasa kita lakukan, baik yang dianggap manfaat maupun sebaliknya, semua Hakikatnya tergantung NIAT dan Keyakinan hati yang kuat. Sebab bila keyakinan telah pupus, maka barang yang Halal juga bisa menjadikannya HARAM secara hukum agama. Seperti contoh. Kita jijik pada satu makanan, maka secara lahiriyyah, makanan tadi haram di makan, padahal sifat asalnya Halal. Atau sebaliknya. Sewaktu kita dalam bepergian ke hutan dan disana tidak menemukan satu cuilpun makanan kecuali hanya bangkai se ekor burung yang kita lihat, maka dalam pandangan hukum Agama, asal kita benar-benar dharurat, niscaya Allah mema'fukannya (halal dalam pengecualian Khusus).
Jadi inti dasar dalam suatu pemahaman ilmu bangsa Sir Asror (bathin) janganlah kita asal bicara sesat, haram, bid'ah, musyrik maupun sirik. Lihat dulu Syiakul kalamnya (tatanannya) sebab bila kita menghukumi suatu barang halal dan dijadikan Haram, maka selama-lamanya hal semacam itu akan menjadi haram adanya. Padahal hukum Islam sangat mudah dipahami dan benar-benar di ringankan segala sesuatunya, kecuali bagi mereka pembenci hukum Islam (selalu menghujat)
.
Seperti Rosululloh SAW dan para sahabatnya, mereka orang-orang yang sangat di kasihi Allah, dan segala ucapannya selalu di ijabah, khususnya dalam permohonan doa. Namun disini kami ulas sedikit tentang sebuah Hikayat..............mengapa Rosululloh masih menganjurkan memakai pedang dan tameng besi sewaktu kaum Muslim berjihad di medan perang? Padahal Seorang kekasih Allah cukup dengan hanya doa'....Niscaaya segala doannya akan di ijabah/memenangkannya. Namun mengapa Rosululloh lebih memilih mencari keselamatan dengan berpegang pada satu Ihtiar, yaitu, pedang dan tameng?.
Juga kami contohkan hikayat lainnya, mengapa sewaktu perang Uhud, kaum Muslimin pernah kalah? padahal ditengah-tengah mereka ada Rosululloh SAW?...Nah hal semacam Inilah yang harus kita kaji secara keseluruhan agar tidak asal berkata sesat dan mudah menyalahkan hukum-hukum yang belum anda pahami selama ini, sebab secara pemahaman Thobi'iyyah,,segala benda appaun sama saja dihadapan Allah, tergantung I'tiqod niatnya saja.
Seperti kita gambarkan sedikit dari perjalanan para Wali Songo, mereka bagian dari orang-orang yang terjaga, baik secara lahiriyyah maupun bathiniyyah apalagi sampai melakukan/menerjang hukum syirik maupun musyrik, dan mereka orang-orang yang dekat dengan Allah sehingga paham mana yang benar dan mana yang salah secara pandangan hukum dan akidah Islam.
Namun mengapa para Waliyulloh kala itu malah memilih memakai pegangan berupa pusaka dan mustika lainnya?.
Seperti Kanjeng Sunan Gunung Jati, yang masyhur dengan pusaka Kyai Naga Raja, untuk menaklukkan kekuasaan Kakeknya Prabu Siliwangi.
Sunan Ampel yang Masyhur dengan Kyai Sengkelat dan pernah digunakan sebagai penakluk Raja Blambangan?.
Sunan Kudus, yang masyhur dengan pusaka Baju Antakusuma dan pernah menjadi wasilahnya dalam menaklukkan Raja Singosari?,
Mbah Kuwu Cakra Buana, yang terkenal dengan mustika Ampalnya dan pernah menaklukkan Banaspati dan raja lautan?.
Sulthan Hasanuddin, yang terkenal dengan pusaka rubah wajah sewu dan pernah menaklukkan pasukan Portugis dan Belanda?,
Juga Kian Santang yang masyhur akan kesaktian mustika Saefi Anginnya dan pernah menakukkan gerombolan aliran hitam pangeran Ucuk Umun dan lain sebagainya?.....
Apakah mereka para Waliyulloh, tidak paham hukum? sampai-sampai pusaka menjadi wasilah andalannya? Padahal semua orang tahu bahwa didalam pusaka terdapat kekuatan bangsa Khodamiyyah...Lalu mengapa bangsa Wali tetap memakainya? Apakah mereka tidak paham akan hukum Allah atau kitalah yang bodoh hingga tidak tahu hukum yang sebenarnya hingga berani berkata! "Bahwa benda bertuah itu musyrik adanya?" Nah disinilah titik permasalahan yang harus kita cermati secara Keseluruhan dan bukan langsung mengkotakkan suatu argumen miring hingga menjadikan kecerobohan kita sendiri dalam mentelaah setiap hukum-hukum bangsa Sir Asroriyyah?.
Disini saya jelaskann tentang makna Sir Asror bangsa Tafsir Al Qur'an, yaitu tentang lafadz HUWA ALLAH (penggalan awal surat Al Ihlas) yang artinya...(HU) Bimakna Sya'nun. Atau apapun wasilahnya semuanya tidak membahayakan bagi manusia. Sebab (WA) bimakna "wahdaniyyat" yang artinya: "Segala sesuatu yang kita yakini, asal dikembalikan dengan keagungan Allah/tetap memohon kepada Allah, maka hukumnya tidak menjadikan bahaya. Sebab segala sesuatunya akan kembali kepada (ALLAH) Dzat yang menciptakan dan Dzat satu-satunya yang wajib disembah secara muthlak.
Secara tafsir,,,,Yang dimaksud MUTHLAKUN dan hanya ALLAH, Dzat yang wajib disembah/diminta,,,,,terbagi menjadi 2 bagian:
-Khusus bagi ahli Marifat, mereka tidak membutuhkan benda atau alat sebagai ihtiarnya kecuali ilmu dan kedekatan Ruh bangsa Maqomatillah. Seperti dalam ilmu Tauhid dijelaskan "Sesungguhnya ahli Ma'rifat, mereka selalu berpegang pada Antasyhadahu Illalloh...Yaitu, mereka dijamin oleh Allah karena keluasan bathinnya sehingga para Malaikat di utus menjadi badalnya untuk menjamin segala yang diperlukan". Seperti Nabi Musa yang sewaktu beribadah 400 tahun didalam batu besar, Allah-lah yang menjaminnya hingga beliau tanpa kekurangan sedikitpun.
-Maqom Awam, mereka wajib memakai wasilah atau hubungan, baik bersifat lahir maupun bathin, Seperti hubungan sesama manusia, atau melalui wasilah bathin dengan mahkhluk lainnya. Seperti dalam kitab Bajuri: "Tiada bisa di buktikan suatu manfaat kecualli dengan memakai wasilah. Dan bentuk wasilah terbaik bagi manusia adalah sifat yang diyakini oleh diri kita sendiri/husnusddzon".
Secara maqom Hamdu,,, segala hubungan dengan sesama Makhluk yang tercipta disunnahkan oleh Allah, baik antara manusia dengan manusia lain, antara manusia dengan bangsa tak kasat mata dan antara manusia dengan haewan Asal didalamnya penuh manfaat dan tidak melanggar akidah agama,. Sesungguhnya Allah telah menjadikan sifat bagi manusia yaitu Hadist Alal Hadist, yang artinya....Setiap makhluk berakal wajib saling menghormati dengan caranya masing-masing".
Lalu bagaimana perbedaan antara ihtiar yang boleh dilakukan dengan yang tidak boleh dilakukan kalayak umum?
Dalam beberapa kitab sudah dijelaskan secara detail...Bahwa ada perbedaan yang mencolok bagi manusia untuk berihtiar secara hukmi dan ada pula yang wajib ditinggalkan secara bathil.
Seperti yang boleh di jalankan secara ihtiar Hukmi diantaranya,,,,Meminta terlebih dahulu kepada Allah, walau memakai alat bantu lainnya, seperti keris, mustika maupun hal yang mirip di dalamnya. Sebab mengutamakan menyebut asma' Allah, bagian akhlak bagi hamba-hambanya untuk menghilangkan sifat-sifat yang berbau kemusyrikan diri. Seperti contoh: "Wa-as aluka min Ridho Illah khususon PUSAKA......." yang artinya...."Ya Allah atas menyebut nama dan ridho-Mu (Allah) saya khususkan buat PUSAKA..........." Cara semacam ini secara kitab disebut BABUR ROHMAH (sangat baik sekali) seperti halnya kita minjem duwit kepada sahabat dengan cara sopan santun karena Allah,,,kedua sifat ini sama saja dalam pandangan kitab,,,yaitu masuk dalam kategori BABUR ROHMAH.
Adapun yang tidak boleh dilakukan oleh manusia, yaitu mendahulukan sifat lain daripada Allah SWT. Seperti contoh,,,kita berucap....."Khsuson Pusaka saya minta kekuatanmu" tanpa menyebutkan Allah di awal, maka hukumnya Musyrik. Sama halnya kita menjelekkan martabat orang lain, menghinanya atau sengaja mengaadu domba, padahal Allah sendiri tidak mengajarkan secara hukum dan akidah, maka hukumnya sama, yaitu Musyrik.
Maka harus dipahami oleh kita semua tentang maknaThobi'iyyah/wasilah,...Jangan asal ngomong dan menyalahakan secara sepihak..Lihat dulu secara hukum tauhid maupun Tasawwuf, Apakah mereka menyimpang atau malah sebaliknya penuh ta'dzim dalam bersopan santun kepada semua mahkluk (Liwail hamdi)...
Renungan pagi....
Dalam kajian Ilmiah Tauhid, bahwa semua makhluk tidak mempunyai kekuasaan dan pekerjaan kecuali Ihtiar (Wahdaniyyah) semata. Sebab segala sesuatu yang menggerakkan dan memberikan kekuasaan kepada setiap makhluk bernyawa lewat kekuasaan-Nya, Bi-ijni waattamkin Ilalloh (semua yang terjadi ijin Allah).
Secara makna Hakikotul Ilmi.....Apapun bentuk yang menjadi wasilah, disebut juga sebagai makna (Sya'nun) yaitu, semua yang ada di muka bumi ini bagian Thobi'iyyah/ihtiar.
Jadi sifat-sifat ihtiar yang biasa kita lakukan, baik yang dianggap manfaat maupun sebaliknya, semua Hakikatnya tergantung NIAT dan Keyakinan hati yang kuat. Sebab bila keyakinan telah pupus, maka barang yang Halal juga bisa menjadikannya HARAM secara hukum agama. Seperti contoh. Kita jijik pada satu makanan, maka secara lahiriyyah, makanan tadi haram di makan, padahal sifat asalnya Halal. Atau sebaliknya. Sewaktu kita dalam bepergian ke hutan dan disana tidak menemukan satu cuilpun makanan kecuali hanya bangkai se ekor burung yang kita lihat, maka dalam pandangan hukum Agama, asal kita benar-benar dharurat, niscaya Allah mema'fukannya (halal dalam pengecualian Khusus).
Jadi inti dasar dalam suatu pemahaman ilmu bangsa Sir Asror (bathin) janganlah kita asal bicara sesat, haram, bid'ah, musyrik maupun sirik. Lihat dulu Syiakul kalamnya (tatanannya) sebab bila kita menghukumi suatu barang halal dan dijadikan Haram, maka selama-lamanya hal semacam itu akan menjadi haram adanya. Padahal hukum Islam sangat mudah dipahami dan benar-benar di ringankan segala sesuatunya, kecuali bagi mereka pembenci hukum Islam (selalu menghujat)
.
Seperti Rosululloh SAW dan para sahabatnya, mereka orang-orang yang sangat di kasihi Allah, dan segala ucapannya selalu di ijabah, khususnya dalam permohonan doa. Namun disini kami ulas sedikit tentang sebuah Hikayat..............mengapa Rosululloh masih menganjurkan memakai pedang dan tameng besi sewaktu kaum Muslim berjihad di medan perang? Padahal Seorang kekasih Allah cukup dengan hanya doa'....Niscaaya segala doannya akan di ijabah/memenangkannya. Namun mengapa Rosululloh lebih memilih mencari keselamatan dengan berpegang pada satu Ihtiar, yaitu, pedang dan tameng?.
Juga kami contohkan hikayat lainnya, mengapa sewaktu perang Uhud, kaum Muslimin pernah kalah? padahal ditengah-tengah mereka ada Rosululloh SAW?...Nah hal semacam Inilah yang harus kita kaji secara keseluruhan agar tidak asal berkata sesat dan mudah menyalahkan hukum-hukum yang belum anda pahami selama ini, sebab secara pemahaman Thobi'iyyah,,segala benda appaun sama saja dihadapan Allah, tergantung I'tiqod niatnya saja.
Seperti kita gambarkan sedikit dari perjalanan para Wali Songo, mereka bagian dari orang-orang yang terjaga, baik secara lahiriyyah maupun bathiniyyah apalagi sampai melakukan/menerjang hukum syirik maupun musyrik, dan mereka orang-orang yang dekat dengan Allah sehingga paham mana yang benar dan mana yang salah secara pandangan hukum dan akidah Islam.
Namun mengapa para Waliyulloh kala itu malah memilih memakai pegangan berupa pusaka dan mustika lainnya?.
Seperti Kanjeng Sunan Gunung Jati, yang masyhur dengan pusaka Kyai Naga Raja, untuk menaklukkan kekuasaan Kakeknya Prabu Siliwangi.
Sunan Ampel yang Masyhur dengan Kyai Sengkelat dan pernah digunakan sebagai penakluk Raja Blambangan?.
Sunan Kudus, yang masyhur dengan pusaka Baju Antakusuma dan pernah menjadi wasilahnya dalam menaklukkan Raja Singosari?,
Mbah Kuwu Cakra Buana, yang terkenal dengan mustika Ampalnya dan pernah menaklukkan Banaspati dan raja lautan?.
Sulthan Hasanuddin, yang terkenal dengan pusaka rubah wajah sewu dan pernah menaklukkan pasukan Portugis dan Belanda?,
Juga Kian Santang yang masyhur akan kesaktian mustika Saefi Anginnya dan pernah menakukkan gerombolan aliran hitam pangeran Ucuk Umun dan lain sebagainya?.....
Apakah mereka para Waliyulloh, tidak paham hukum? sampai-sampai pusaka menjadi wasilah andalannya? Padahal semua orang tahu bahwa didalam pusaka terdapat kekuatan bangsa Khodamiyyah...Lalu mengapa bangsa Wali tetap memakainya? Apakah mereka tidak paham akan hukum Allah atau kitalah yang bodoh hingga tidak tahu hukum yang sebenarnya hingga berani berkata! "Bahwa benda bertuah itu musyrik adanya?" Nah disinilah titik permasalahan yang harus kita cermati secara Keseluruhan dan bukan langsung mengkotakkan suatu argumen miring hingga menjadikan kecerobohan kita sendiri dalam mentelaah setiap hukum-hukum bangsa Sir Asroriyyah?.
Disini saya jelaskann tentang makna Sir Asror bangsa Tafsir Al Qur'an, yaitu tentang lafadz HUWA ALLAH (penggalan awal surat Al Ihlas) yang artinya...(HU) Bimakna Sya'nun. Atau apapun wasilahnya semuanya tidak membahayakan bagi manusia. Sebab (WA) bimakna "wahdaniyyat" yang artinya: "Segala sesuatu yang kita yakini, asal dikembalikan dengan keagungan Allah/tetap memohon kepada Allah, maka hukumnya tidak menjadikan bahaya. Sebab segala sesuatunya akan kembali kepada (ALLAH) Dzat yang menciptakan dan Dzat satu-satunya yang wajib disembah secara muthlak.
Secara tafsir,,,,Yang dimaksud MUTHLAKUN dan hanya ALLAH, Dzat yang wajib disembah/diminta,,,,,terbagi menjadi 2 bagian:
-Khusus bagi ahli Marifat, mereka tidak membutuhkan benda atau alat sebagai ihtiarnya kecuali ilmu dan kedekatan Ruh bangsa Maqomatillah. Seperti dalam ilmu Tauhid dijelaskan "Sesungguhnya ahli Ma'rifat, mereka selalu berpegang pada Antasyhadahu Illalloh...Yaitu, mereka dijamin oleh Allah karena keluasan bathinnya sehingga para Malaikat di utus menjadi badalnya untuk menjamin segala yang diperlukan". Seperti Nabi Musa yang sewaktu beribadah 400 tahun didalam batu besar, Allah-lah yang menjaminnya hingga beliau tanpa kekurangan sedikitpun.
-Maqom Awam, mereka wajib memakai wasilah atau hubungan, baik bersifat lahir maupun bathin, Seperti hubungan sesama manusia, atau melalui wasilah bathin dengan mahkhluk lainnya. Seperti dalam kitab Bajuri: "Tiada bisa di buktikan suatu manfaat kecualli dengan memakai wasilah. Dan bentuk wasilah terbaik bagi manusia adalah sifat yang diyakini oleh diri kita sendiri/husnusddzon".
Secara maqom Hamdu,,, segala hubungan dengan sesama Makhluk yang tercipta disunnahkan oleh Allah, baik antara manusia dengan manusia lain, antara manusia dengan bangsa tak kasat mata dan antara manusia dengan haewan Asal didalamnya penuh manfaat dan tidak melanggar akidah agama,. Sesungguhnya Allah telah menjadikan sifat bagi manusia yaitu Hadist Alal Hadist, yang artinya....Setiap makhluk berakal wajib saling menghormati dengan caranya masing-masing".
Lalu bagaimana perbedaan antara ihtiar yang boleh dilakukan dengan yang tidak boleh dilakukan kalayak umum?
Dalam beberapa kitab sudah dijelaskan secara detail...Bahwa ada perbedaan yang mencolok bagi manusia untuk berihtiar secara hukmi dan ada pula yang wajib ditinggalkan secara bathil.
Seperti yang boleh di jalankan secara ihtiar Hukmi diantaranya,,,,Meminta terlebih dahulu kepada Allah, walau memakai alat bantu lainnya, seperti keris, mustika maupun hal yang mirip di dalamnya. Sebab mengutamakan menyebut asma' Allah, bagian akhlak bagi hamba-hambanya untuk menghilangkan sifat-sifat yang berbau kemusyrikan diri. Seperti contoh: "Wa-as aluka min Ridho Illah khususon PUSAKA......." yang artinya...."Ya Allah atas menyebut nama dan ridho-Mu (Allah) saya khususkan buat PUSAKA..........." Cara semacam ini secara kitab disebut BABUR ROHMAH (sangat baik sekali) seperti halnya kita minjem duwit kepada sahabat dengan cara sopan santun karena Allah,,,kedua sifat ini sama saja dalam pandangan kitab,,,yaitu masuk dalam kategori BABUR ROHMAH.
Adapun yang tidak boleh dilakukan oleh manusia, yaitu mendahulukan sifat lain daripada Allah SWT. Seperti contoh,,,kita berucap....."Khsuson Pusaka saya minta kekuatanmu" tanpa menyebutkan Allah di awal, maka hukumnya Musyrik. Sama halnya kita menjelekkan martabat orang lain, menghinanya atau sengaja mengaadu domba, padahal Allah sendiri tidak mengajarkan secara hukum dan akidah, maka hukumnya sama, yaitu Musyrik.
Maka harus dipahami oleh kita semua tentang maknaThobi'iyyah/wasilah,...Jangan asal ngomong dan menyalahakan secara sepihak..Lihat dulu secara hukum tauhid maupun Tasawwuf, Apakah mereka menyimpang atau malah sebaliknya penuh ta'dzim dalam bersopan santun kepada semua mahkluk (Liwail hamdi)...
Renungan pagi....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar